Selasa, 10 April 2018

GHOUTA BERDARAH, PBB TAK BERDAYA

Hingga saat ini korban di Ghouta Timur terus bergelimpangan. Serangan pasukan Suriah dan sekutunya telah menjatuhkan korban lebih dari 1000 korban. Sejak 18 Februari hingga 11 Maret 2018, menurut keterangan grup pemantau Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) total korban tewas di Ghouta Timur mencapai 1.031 orang, termasuk 219 anak-anak. Lebih dari 4.350 orang lainnya terluka dalam serangan.

Konflik yang terjadi di Ghouta ini telah terjadi sejak tahun 2011. Wilayah Ghouta adalah salah satu wilayah pertama di Damaskus yang melakukan demonstrasi melawan rezim Bassar Assad. Namun pada perkembangan berikutnya mejadi perang berskala penuh.  Pada tanggal 21 Agustus 2013 pasukan pemerintahan Bassar Assad bahkan membombardir wilayah Ghouta Timur dengan gas Sarin hingga menewaskan lebih dari 1.500 pria, wanita dan anak-anak. Setelah itu pasukan Assad mulai mengepung Ghouta timur. Hingga saat ini pengepungan telah berlangsung selama lima tahun. Ini adalah pengepungan terlama pada zaman modern. Bahkan lebih lama dari pengepungan yang terjadi di Sarajevo.

Meski pengepungan ini telah berlangsung lama di Ghouta tapi kita melihat bahwa selama masa tersebut tidak ada pihak yang bisa menghentikan Bassar Assad bahkan Dewan Keamanan PBB tidak sanggup. PBB berkali-kali menyerukan agar dilakukan gencatan senjata. Seruan yang terbaru pada tanggal 16 Maret 2018. PBB menyerukan agar dilaksanakan resolusi yang menuntut gencatan senjata segera di Suriah. Namun seruan PBB ini tidak mampu menghentikan  kekejaman rezim Bassar Assad. Serangan demi serangan tetap dilancarkan di wilayah Ghouta Timur. Bahkan pemberlakuan de-eskalasi di wilayah Ghouta sejak Desember 2016 yang diikuti dengan pendirian dua pos pemeriksaan dan empat pos pengamatan oleh Rusia tidak berimbas apapun. Justru menjadikan pengeboman oleh tentara rezim Assad terhadap warga sipil terus berlangsung.

Realitas ini menunjukkan bahwa keberadaan PBB yang mengaku sebagai Police dunia ternyata tidak sanggup menghentikan apa yang terjadi di Ghouta. Tidak hanya pada Ghouta tapi juga pada kaum muslimin yang terjadi di beberapa wilayah lainnya seperti yang terjadi di Palestina dan Myanmar. Di sisi lain tidak ada satupun dari pemimpin kaum muslimin di  negri-negri muslim yang menjawab seruan kaum muslimin di Ghouta Timur dan negeri lainnya. Pemimpin Arab Saudi, Turki, Iran, dan bahkan Indonesia serta negeri-negeri kaum muslimin lainnya semuanya bersembunyi di belakang PBB. Pemimpin-pemimpin tersebut hanya menyerukan sebuah kecaman dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Tidak ada pengiriman pasukan untuk membela kaum muslimin disana. Apa yang mereka lakukan ini, seolah justru menghalalkan darah saudaranya untuk dibunuh dan melanggengkan kebiadaban penguasa dzalim terhadap kaum muslimin.

Ratapan, seruan, dan tangisan kaum Muslimin di berbagai wilayah ini membutuhkan jawaban seorang pemimpin Islam sejati. Seperti Khalifah Mutashim Billah yang menjawab jeritan seorang wanita yang dilecehkan oleh penguasa Amuriyah salah seorang raja Romawi. Khalifah Muthasim Billah tanpa berfikir panjang langsung mengerahkan dan memimpin sendiri puluhan ribu pasukan kaum Muslimin menuju Kota Amuriyah. Saat inipun kaum muslimin membutuhkan seorang Khalifah yang mampu melindungi dan mengayomi kaum muslimin. Menjawab setiap jeritan, tangisan dan seruan kaum muslimin yang terdzalimi.
Allah SWT telah menetapkan kewajiban adanya seorang Khalifah yang akan menjadi junnah (perisai) dan pelindung bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Seorang pemimpin yang mampu menjaga kehormatan kaum muslimin dimanapun mereka berada. Seorang pemimpin yang mampu menyatukan berbagai negeri muslim di berbagai belahan dunia. Seorang pemimpin yang rasa takutnya hanya kepada Allah SWT bukan kepada yang lain.

Tidak ada komentar: