Ramadhan hampir berlalu. Tibalah pada rutinitas di akhir
Ramadhan. Mudik ke kampung halaman. Bagiku ini adalah momen yang sangat
berharga. Mengingat aku jarang sekali pulang kampung. Bahagia menghujaniku
beberapa hari menjelang kepulanganku. Entah mengapa... hati ini sangat rindu
dengan kampungku.“ Wah sudah siap
mudik ya?” itulah komentar yang disampaikan adik kosku saat melihat tas
besar berisi penuh perlengkapan mudik yang ada dikmarku. Bahkan beberapa hari
sebelumnya seorang ibu menggodaku “Pasti mau mudik ya?” lantaran aku membawa
sebuah kardus besar.
Akhirnya hari yang ku nantikan tiba. Perjalananku menuju
kampung halaman lumayan panjang sehingga aku memutuskan untuk berangkat pagi.
Dalam perjalanan menuju desaku aku melihat beberapa suasana. Surabaya sebagai
tempat tinggalku beberapa tahun ini tidak usah diceritakan lagi. Penuh dengan
gedung-gedung bertingkat, mobil pribadi, angkot, dan tak luput pula sepeda
motor yang memang banyak berlalu lalang.
Selanjutnya aku melewati berbagai tempat dengan mata
terpejam. Karena rasa kantuk berat telah menghinggapiku. Hingga aku terbangun
di Probolinggo. Leces tepatnya, namun yang menarik perhatianku bukan disana.
Melainkan di perbatasan Probolinggo dan Lumajang. Aku mendapati banyak sekali
tanaman yang kering kerontong. Tanahnyapun benar-benar kering seolah tidak
pernah dijamah setetes airpun. Dalam hati aku berkata “ Ya Alloh, tanah ini
butuh untuk kau sirami”. Di sepanjang
jalan aku melihat daun pisang yang mengering, rerumputan yang tidak tumbuh.
Tanaman yang layu. Jika kutuliskan romansa kehidupan dalam perjalannanku di
kota probolinggo ini seperti seseorang yang sedang dirundung duka. Perjalananku berlanjut hingga aku bertemu dnegan perbatasan
Probolinggo dengan Lumajang. Darisana tidak banyak tumbuhan yang aku lihat.
Yang aku dapati adalah rumah-rumah orang yang kemudian berlanjut dengan pasar.
Selanjutnya tidak ada perbedaan yang berarti.
Tibalah aku kemudian di daerah pinggiran Lumajang menuju
Jember. Disana ternyata suasananya berbeda dengan Probolinggo. Tak lagi seperti
seseorang yang dirundung duka. Tapi layaknya seseorang yang sedang berbahagia. Aku
dapati hamparan sawah yang hijau. Dengan semburat warna hijau yang berbeda
meski dalam satu spektrum yang sama. Berpetak-petak sawah hiaju pupus
dikelilingi pohon kelapa. Layaknya seorang penjaga yang sedang melindungi harta
majikannya. Di kejauhan aku lihat seekor kerbau sedang berjemur di bawah terik
matahari sambil menikmati semilir angin. Angin sepoi-sepoi mengiringi tarian
dedaunan kelapa. Beberapa ekor itik sedang berenang riang baris berbaris
mengikuti laju sang pemimpin. Mengiringi aliran sungai yang tenang dan damai.
Tak berjarak jauh kembali kulihat kerbau sedang ‘leyeh-leyeh’ berendam dalam
lumpur air sungai yang dangkal. Sungguh suasana yang menyenankan. Aku baru tahu
mengapa aku sangat rindu sekali untuk pulang ke kampung halaman.
Sayangnya keindahan alam ini terganggu dengan perilaku
kurang hygiene dari masyarakat sekitar. Mereka ber-BAB ria di sungaai. Tak
baanyak memang tapi cukup mengganggu pemandangan dan lagi secara kesehatan itu
termasuk perilaku yang tidka sehat. Tapi rasanya tidak hanya daerah ini saja
yang seperti itu. Saya masih menjumpai yang demikian ini di Surabaya. Banyak
orang yang masih BAB sembarangan di sungai bahkan ada juga yang BAB di selokan.
Padahal di sekitarnya dekat dengan perguruan tinggi nasional. Masya Alloh.
Bagaimana bisa Surabaya menerima penghargaan adipura dan kalpataru? Tim penilai
menilai dari mana ya? Apa panitianya hanya melihat di rumah-rumah elit dan
jalanan utama Surabaya? Entah mereka menilai Surabaya dari sisi yang mana.
Kembali pada perjalanan mudik. Beberapa waktu menjelang
tujuan akhirku. Aq mendapati daerah tersebut mendung. Mendung yang
menyenangkan. Menaungi siang hari yang biasanya panas. Anugerah dari Alloh SWT
yang menunjukkan seolah awan kelabu ini hendak melindungi kaum muslimin yang
sedang berpuasa.
Tiba-tiba aku terkejut bukan main saat aku melihat di
pinggir jalan ada seseorang yang menjual buaah manecu. Atau beberapa orang
menyebutnya buah kenitu. Bagi yang belum pernah mengetaahui. Buah ini sejenis
buah sawa tapi warna dagingnya putih dan banyak sekali getahnyaa. Bagi pemakan
buah kenitu ini harus bersiap-siap dengan mulut yang penuh lem alami ini. Sudah
lama sekali aku tidak memakannya. Selain karena buah ini musiman, aku juga
tidak pernah menjumpainya dijual di Surabaya. Walhasil jarang banget aku
memakannya. Dan kini mereka ada dalam jumlah banyak dihadapanku. Ingin rasanya
kumakan semuanya. Namun aku tak kuasa. Karena tangan ini tak mampu
menjangkaunya. Kami terpisahkan oleh kaca bus yang aku naiki.
Subhanallah... ini merupakan perjalanan menakjubkan yang
pernah aku rasakan dalam hidupku. Pulang dengan kesenang dan kejutan-kejutan
fenomena alam. Suatu hal yang jarang aku lihat. Benar-benar kontradiksi. Di
suatu daerah tanahnya kering-kerontang sementara di daerah lain justru
sebaliknya. Entah mengapa, hanya Alloh yang tau.