Kamis, 16 Agustus 2012

Episode 1 Mudik Lebaran



        Ramadhan hampir berlalu. Tibalah pada rutinitas di akhir Ramadhan. Mudik ke kampung halaman. Bagiku ini adalah momen yang sangat berharga. Mengingat aku jarang sekali pulang kampung. Bahagia menghujaniku beberapa hari menjelang kepulanganku. Entah mengapa... hati ini sangat rindu dengan kampungku.“ Wah sudah siap  mudik ya?” itulah komentar yang disampaikan adik kosku saat melihat tas besar berisi penuh perlengkapan mudik yang ada dikmarku. Bahkan beberapa hari sebelumnya seorang ibu menggodaku “Pasti mau mudik ya?” lantaran aku membawa sebuah kardus besar.

        Akhirnya hari yang ku nantikan tiba. Perjalananku menuju kampung halaman lumayan panjang sehingga aku memutuskan untuk berangkat pagi. Dalam perjalanan menuju desaku aku melihat beberapa suasana. Surabaya sebagai tempat tinggalku beberapa tahun ini tidak usah diceritakan lagi. Penuh dengan gedung-gedung bertingkat, mobil pribadi, angkot, dan tak luput pula sepeda motor yang memang banyak berlalu lalang.

         Selanjutnya aku melewati berbagai tempat dengan mata terpejam. Karena rasa kantuk berat telah menghinggapiku. Hingga aku terbangun di Probolinggo. Leces tepatnya, namun yang menarik perhatianku bukan disana. Melainkan di perbatasan Probolinggo dan Lumajang. Aku mendapati banyak sekali tanaman yang kering kerontong. Tanahnyapun benar-benar kering seolah tidak pernah dijamah setetes airpun. Dalam hati aku berkata “ Ya Alloh, tanah ini butuh untuk kau sirami”.  Di sepanjang jalan aku melihat daun pisang yang mengering, rerumputan yang tidak tumbuh. Tanaman yang layu. Jika kutuliskan romansa kehidupan dalam perjalannanku di kota probolinggo ini seperti seseorang yang sedang dirundung duka.  Perjalananku berlanjut hingga aku bertemu dnegan perbatasan Probolinggo dengan Lumajang. Darisana tidak banyak tumbuhan yang aku lihat. Yang aku dapati adalah rumah-rumah orang yang kemudian berlanjut dengan pasar. Selanjutnya tidak ada perbedaan yang berarti.

        Tibalah aku kemudian di daerah pinggiran Lumajang menuju Jember. Disana ternyata suasananya berbeda dengan Probolinggo. Tak lagi seperti seseorang yang dirundung duka. Tapi layaknya seseorang yang sedang berbahagia. Aku dapati hamparan sawah yang hijau. Dengan semburat warna hijau yang berbeda meski dalam satu spektrum yang sama. Berpetak-petak sawah hiaju pupus dikelilingi pohon kelapa. Layaknya seorang penjaga yang sedang melindungi harta majikannya. Di kejauhan aku lihat seekor kerbau sedang berjemur di bawah terik matahari sambil menikmati semilir angin. Angin sepoi-sepoi mengiringi tarian dedaunan kelapa. Beberapa ekor itik sedang berenang riang baris berbaris mengikuti laju sang pemimpin. Mengiringi aliran sungai yang tenang dan damai. Tak berjarak jauh kembali kulihat kerbau sedang ‘leyeh-leyeh’ berendam dalam lumpur air sungai yang dangkal. Sungguh suasana yang menyenankan. Aku baru tahu mengapa aku sangat rindu sekali untuk pulang ke kampung halaman.

       Sayangnya keindahan alam ini terganggu dengan perilaku kurang hygiene dari masyarakat sekitar. Mereka ber-BAB ria di sungaai. Tak baanyak memang tapi cukup mengganggu pemandangan dan lagi secara kesehatan itu termasuk perilaku yang tidka sehat. Tapi rasanya tidak hanya daerah ini saja yang seperti itu. Saya masih menjumpai yang demikian ini di Surabaya. Banyak orang yang masih BAB sembarangan di sungai bahkan ada juga yang BAB di selokan. Padahal di sekitarnya dekat dengan perguruan tinggi nasional. Masya Alloh. Bagaimana bisa Surabaya menerima penghargaan adipura dan kalpataru? Tim penilai menilai dari mana ya? Apa panitianya hanya melihat di rumah-rumah elit dan jalanan utama Surabaya? Entah mereka menilai Surabaya dari sisi yang mana.

        Kembali pada perjalanan mudik. Beberapa waktu menjelang tujuan akhirku. Aq mendapati daerah tersebut mendung. Mendung yang menyenangkan. Menaungi siang hari yang biasanya panas. Anugerah dari Alloh SWT yang menunjukkan seolah awan kelabu ini hendak melindungi kaum muslimin yang sedang berpuasa.
Tiba-tiba aku terkejut bukan main saat aku melihat di pinggir jalan ada seseorang yang menjual buaah manecu. Atau beberapa orang menyebutnya buah kenitu. Bagi yang belum pernah mengetaahui. Buah ini sejenis buah sawa tapi warna dagingnya putih dan banyak sekali getahnyaa. Bagi pemakan buah kenitu ini harus bersiap-siap dengan mulut yang penuh lem alami ini. Sudah lama sekali aku tidak memakannya. Selain karena buah ini musiman, aku juga tidak pernah menjumpainya dijual di Surabaya. Walhasil jarang banget aku memakannya. Dan kini mereka ada dalam jumlah banyak dihadapanku. Ingin rasanya kumakan semuanya. Namun aku tak kuasa. Karena tangan ini tak mampu menjangkaunya. Kami terpisahkan oleh kaca bus yang aku naiki.

          Subhanallah... ini merupakan perjalanan menakjubkan yang pernah aku rasakan dalam hidupku. Pulang dengan kesenang dan kejutan-kejutan fenomena alam. Suatu hal yang jarang aku lihat. Benar-benar kontradiksi. Di suatu daerah tanahnya kering-kerontang sementara di daerah lain justru sebaliknya. Entah mengapa, hanya Alloh yang tau.

Tidak ada komentar: